Huru-hara tentang Jouska cukup menyita perhatian masyarakat di beberapa hari terakhir. Terlepas dari praktek bisnis Jouska yang mencurigakan (tidak ada izin usaha yang relevan) — apakah masyarakat umum butuh jasa pengelola investasi? Atau, bahkan, apakah masyarakat butuh untuk berinvestasi?
Mengenai pertanyaan kedua (yang lebih fundamental), ada banyak alasan kenapa orang berinvestasi. Ada yang berinvestasi karena mau membangun kekayaan. Ada yang berinvestasi karena mau mengambil keuntungan dari pertumbuhan ekonomi. Ada yang berinvestasi karena mau mengalahkan laju inflasi. Semua alasan ini wajar saja, tapi investasi bukanlah kegiatan yang bebas risiko. Selain harus tahu kenapa mau berinvestasi, penting juga untuk punya strategi bagaimana cara berinvestasi yang akan memberikan hasil yang diinginkan.
Menggunakan jasa pengelola investasi tentu saja adalah salah satu opsi yang tersedia. Tidak ada yang salah dengan itu, tapi menurut saya 99% orang tidak butuh jasa pengelola investasi. (Angka ini saya ambil tanpa rasionalisasi apa-apa — saya hanya ingin membuat sebuah pernyataan yang hiperbolis.)
Lantas apa kasus langka yang bisa membuat kamu tergolong ke kelompok yang butuh jasa pengelola investasi. Bagi saya, ada dua kriteria yang perlu untuk dipenuhi:
adanya prinsip investasi yang dipegang teguh; DAN
adanya orang/kelompok yang bisa didelegasikan untuk mengeksekusi prinsip investasi di poin (1) dengan lebih baik.
Ingat bahwa kedua kriteria ini menggunakan operator “DAN” yang berarti ketika salah satu dari dua kondisi ini tidak terpenuhi maka kamu tidak tergolong ke kelompok yang butuh jasa pengelola investasi.
(Kedua kriteria ini juga sebenarnya berlaku setiap pengambilan keputusan mengenai pendelegasian pekerjaan apa saja. Untuk menjaga fokus ke topik yang sedang dibahas, saya memperkecil ruang lingkupnya menjadi terkait pendelegasian pengelola investasi saja.)
Mari kita bahas poin yang pertama dulu. Apa jadinya ketika orang yang tak memiliki prinsip investasi berinvestasi? Mereka akan kehilangan arah. Meskipun prinsip investasi terdengar klise, ini adalah pondasi yang mendasari investasi kamu dan segala hal yang kamu lakukan terkait investasi. Ini yang akan membedakan kamu dari investor-investor lain.
Bayangkan jika keesokan hari ketika kamu bangun, ada uang senilai 1 milyar rupiah muncul begitu saja dan menjadi milikmu sepenuhnya. Katakanlah kamu bertekad untuk menginvestasikan uang tersebut di pasar saham karena alasan apapun (mungkin kamu merasa 1 milyar tidak cukup — katanya manusia tidak pernah puas?), tapi kamu tidak punya prinsip investasi. Dalam hal tersebut, kamu bahkan tidak tahu portofolio saham apa yang harus dibeli.
Di poin kedua, kamu harus punya orang yang bisa kamu delegasikan untuk mengeksekusi prinsip investasi yang kamu pegang. Perhatikan bahwa saya tidak secara spesifik membahas tentang asal dari prinsip investasi kamu, karena itu sama sekali tidak penting. Kamu bisa saja terang-terangan mencontek prinsip investasi tersebut dari orang lain. Toh, dalam hal ini tidak ada konsep plagiat.
Ini juga berarti bahwa bisa saja kamu mendapatkan prinsip investasimu dari orang yang akhirnya kamu delegasikan — pengelola investasi kamu misalnya. Jika setelah mereka mempresentasikan prinsip investasinya, kamu merasa cocok dan percaya mereka bisa mengeksekusinya dengan baik, berarti dua kriteria tersebut terpenuhi.
Yang berbahaya adalah ketika orang memandang pengelola keuangan sebagai sebuah “black box” yang bisa menggandakan uang. Di mata mereka, pengelola investasi adalah babi ngepet di era modern.
Sikap buruk dalam pendelegasian pekerjaan tanpa mengacuhkan dan peduli terhadap apa yang dilakukan oleh di baliknya sebenarnya sudah menjadi penyakit umum yang banyak ditemukan di aspek kehidupan lain. Tidak hanya dalam hal investasi saja.
Ada adegan yang cukup relevan dengan hal ini di buku yang sedang saya baca Zen & the Art of Motorcycle Maintenance karya Robert M. Pirsig. Di sebuah adegan, motor dari si narator rusak dan dia tidak puas dengan perawatan yang dilakukan oleh mekanik di bengkel yang dia datangi.
Tapi penjelasan terbesarnya ada di ekspresi mereka. Agak sulit untuk dijelaskan. Baik hati, ramah, lembut — dan tampak tidak peduli. Mereka seperti penonton. Rasanya mereka hanya disuruh hadir di sana dengan membawa kunci pas. Tidak bilang apa-apa tentang siapa mereka. Tidak ada perkenalan, “Saya mekanik.” Jam 5 sore, atau jam berapa saja setelah waktu kerja delapan jam mereka selesai, kamu tahu mereka akan berhenti bekerja dan masa bodoh dengan pekerjaan mereka. Mereka juga tadinya sudah masa bodoh dengan pekerjaan mereka selama jam kerja. Mereka sama saja dengan John dan Sylvia dengan cara mereka sendiri, hidup dengan teknologi tanpa mau berurusan apa-apa dengannya. Atau malah, mereka punya urusan dengannya, tapi mereka sendiri terlepas, terpisah darinya. Mereka terlibat, tapi tidak peduli dengannya.
Di kutipan tersebut, si narator akhirnya menemukan penyebab masalah dari rusaknya mesin motornya — sesuatu yang gagal dilakukan oleh mekaniknya. Penyebabnya bukan karena si narator lebih ahli tentang mesin motor ketimbang si mekanik. Tapi karena si narator lebih peduli kepada mesin motornya ketimbang si mekanik.
Sama halnya seperti investasi. Seahli dan sebaik apapun reputasi pengelola investasi kamu, mereka tidak akan lebih peduli kepada investasi kamu ketimbang kamu sendiri. Yang terburuk yang kamu bisa alami adalah kehilangan seluruh investasi kamu. Sedangkan yang terburuk yang bisa pengelola investasi kamu alami adalah kehilangan satu klien? (Oke, jika skalanya semasif Jouska, reputasi mereka juga bisa hancur, tapi tidak banyak kasus yang menyita pemberitaan populer seperti ini.)
Pada dasarnya, seluruh hasil dari investasi kamu adalah tanggung jawabmu. Jika kamu sukses, itu adalah berkat andil dari keputusanmu. Jika kamu gagal — tidak peduli karena adanya penipuan dari pihak pengelola investasi, krisis ekonomi akibat pandemi, dll. — kamu adalah satu-satunya orang yang patut disalahkan. Skin in the game.
Foto Robert dan Chris Pirsig, 1968. Kredit foto: William Morrow/HarperCollins.